JellyGamat Gold-G merupakan minuman kesehatan yang multi khasiat , selain kandungannya yang sangat bermanfaat bagi tubuh membuat Jelly Gamat Gold-G dapat mengobati berbagai macam penyakit yang menganggu sistem pencernaan salah satunya Diare . berwarna bening yang terbuat dari bahan utama teripang laut (Sea Cucumber) dari species terbaik di
Jakarta - Indonesia memiliki beberapa minuman beralkohol yang dibuat secara tradisional yang biasa disebut dengan tuak. Pembuatan minuman beralkohol sendiri biasanya dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan ragi siap pakai yang ditambahkan pada bahan pembuat tuak seperti beras ketan atau pun air nira. Butuh waktu yang tidak sebentar dalam fermentasi pembuatan minuman beralkohol, semakin lama, akan semakin bagus karena kadar alkoholnya yang merupakan negara yang kaya akan keberagaman, banyak masyarakat daerah yang membuat minuman keras untuk dijadikan sebagai bahan obat dan jenis minuman beralkohol tradisional asal Indonesia yakni ada Tuak dari Toba dan Tapanuli, Tuak Nifaro dari Nias, Lapen dari Yogyakarta, Arak dari Bali, Ballo dari Makassar, Sopi dari Maluku dan NTT, serta minuman keras Cap Tikus asal Manado dan Minahasa. Berikut ulasan sejumlah minuman keras buatan tradisional yang ada di Indonesia, yang dirangkum dari berbagai sumber1. Tuak dari Toba dan TapanuliTuak merupakan minuman beralkohol yang kerap dijumpai di Sumatra Utara, khususnya Toba dan Tapanuli. Masyarakat setempat biasanya mewajibkan minuman ini di setiap acara adat Batak, acara kekeluargaan, maupun dijual di warung-warung orang Batak. Tuak juga biasa dijadikan sebagai jamuan kepada tamu di Toba dan pembuatan tuak berasal dari pohon enau dan kelapa yang diambil air niranya, kemudian difermentasi hingga berubah warna menjadi putih dengan bau khas. Kadar alkohol tuak, menurut penelitian para ahli, tak sekuat bir dan anggur, sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup akan memberikan efek yang menenangkan saraf sentral. Namun jika berlebihan, minuman keras ini dapat menyebabkan mabuk dan mengakibatkan hilangnya kontrol TuakNifaro dari NiasTuo Nifaro atau Tuak Nias merupakan produk hasil fermentasi air nira dan aren yang kemudian dilakukan proses penyulingan untuk mendapatkan kadar alkohol 100 persen. Proses pembuatan yang sulit dan lama membuat tuak Nias semakin jarang diproduksi, bahkan di daerah asalnya tersebut. Hanya para tetua saja yang masih membuatnya, sebab membutuhkan 20 liter tuak mentah, hanya akan menghasilkan sekitar 4 sampai 5 botol tuak suling saja. Kualitas tuak Nias ditentukan berdasarkan kelas, kelas pertama yaitu dengan kadar alkohol murni hampir 100 persen. Tuak Nias kelas pertama ini jarang dijual, kalau pun ada yang membeli bukan untuk diminum, tetapi dijadikan sebagai obat encok, asam urat dan sakit sendi. Penggunaannya cukup dioleskan pada bagian yang sakit, selain itu tuak Nias juga dipercaya dapat mengobati diabetes dan untuk yang diminum, biasanya tuak Nias kelas ketiga. Namun jarang ada yang berani meminum secara langsung sebab harus dicampur dengan air putih atau tuak yang belum disuling. Biasanya satu botol Tuak Nias dicampur dengan 5 teko tuak mentah. Tingkat kesulitan pembuatannya, membuat harga Tuak Nias cukup mahal, sebotolnya dihargai Rp 200 ribu untuk kelas ketiga, dan Rp. 400 ribu untuk kelas Lapen dari YogyakartaYogyakarta juga punya minuman keras beralkohol, Lapen namanya. Bukan sembarang nama, Lapen sendiri merupakan singkatan dari Langsung Pening. Lapen sendiri merupakan minuman keras yang cara pembuatan dioplos, dengan bahan utama alkohol dan air putih serta bahan-bahan lain seperti jamu dan susu, atau apa saja asalkan campuran tersebut bisa membuat cepat mabuk alias langsung pening. Meskipun harganya merakyat, cuma lima ribuan dalam kemasan plastik, meneguk Lapen sangat berbahaya hingga bisa menyebabkan kematian. Setiap tahun diberitakan puluhan orang tewas gara-gara nekat minum Ballo dari Jeneponto, Sulawesi SelatanIklan Minuman Ballo lazim disuguhkan saat acara hajatan warga, biasanya warga berkumpul di belakang rumah si empunya hajatan sembari memasak hidangan ditemani dengan minuman Ballo. Di Jeneponto, Ballo cukup mudah ditemukan, sebab banyak orang yang menjadikan Ballo sebagai penghasilan utama di daerah merupakan minuman beralkohol sejenis tuak yang berasal dari daerah Bugis, Makassar. Dibuat dari hasil fermentasi dari air nira, enau, nipah dan lontar. Masyarakat setempat biasanya mengumpulkan air nira tersebut dan ditampung ke dalam wadah, kemudian memendam wadah tersebut di dalam tanah selama beberapa hari untuk membuat Ballo. Ballo dimanfaatkan warga untuk menghilangkan rasa dingin, selain itu meminum Ballo dalam jumlah wajar dipercaya oleh masyarakat setempat dapat meningkatkan daya tahan Sopi dari Maluku dan NTTIndonesia timur juga punya minuman beralkohol tradisional, namanya Sopi. Kata Sopi sendiri merupakan serapan dari bahasa Belanda, Zoopie, yang berarti alkohol cair. Proses pembuatan minuman keras beralkohol ini yakni berbahan dasar air sadapan lontar yang difermentasi kemudian disuling. Di NTT terdapat satu daerah pembuat Sopi terbaik, yakni di kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada NTT. Selain di NTT, Sopi juha populer di kalangan masyarakat Maluku, dan bahkan Sopi berlabel BM yang laku di pasaran, BM sendiri merupakan akronim dari Bakar Menyala, yang artinya Sopi tersebut mengandung kadar alkohol yang tinggi. Di NTT, minuman keras ini umumnya dikenal dengan dua nama, yakni Sopi dan Moke. Keduanya sama-sama minuman keras, yang membedakan adalah alat menyulingnya. Sopi disuling menggunakan gentong yang disambungkan dengan pipa untuk mengalirkan uap ke wadah, sedangkan Moke disuling menggunakan wadah periuk tanah liat dan uapnya dialirkan menggunakan batang Minuman Keras Cap Tikus dari Manado dan MinahasaMinuman keras Cap Tikus Mereka minuman beralkohol tradisional Minahasa yang dibuat dari hasil fermentasi dan distilasi Air Nira dari Pohon Aren. Minuman ini telah dikenal sejak lama oleh masyarakat Minahasa, dan biasanya dikonsumsi oleh para Bangsawan atau masyarakat umum dalam acara keras tradisional Minahasa ini pada awalnya bernama Sopi seperti minuman keras tradisional dari NTT. Namun penyebutan tersebut diubah menjadi Cap Tikus saat orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer sebelum tahun 1829, menemukan Sopi dalam botol bergambar ekor tikus yang dijual pedagang Cina di Benteng Amsterdam, Sebelum Jokowi Cabut Lampiran, Bahlil Sudah Ada 109 Izin Minuman Beralkohol7. Arak dari BaliArak Bali merupakan satu dari beberapa jenis minuman beralkohol Indonesia yang diolah secara tradisional, melalui proses fermentasi air nira yang disadap dari pohon palem sejenis lontar, kelapa dan aren, yang kemudian disuling. Arak Bali telah lama populer di Pulau Dewata tersebut, dengan kandungan alkohol yang bervariasi, antara 20 persen sampai 50 persen. Biasanya arak Bali seringnya dikombinasikan dengan berbagai jenis minuman rasa gula dengan berbagai varian KHOIRUL MUHID
KapsulBody Slim Herbal Melangsingkan Tanpa Sedot Lemak. Body Slim Herbal atau yang lebih dikenal dengan BSH adalah merupakan obat herbal alami penurun berat badan, melangsingkan badan dengan cara menekan nafsu makan, memperlancar peredaran darah, mempercepat metabolisme tubuh, membakar lemak terutama pada bagian lengan, pipi, paha, dan perut, detoksifikasi racun dalam tubuh.
Jakarta - Pati dari umbi garut ternyata memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh. Pati umbi garut memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dari beras sehingga aman bagi pengidap diabetes. Selain itu, sejumlah riset juga mengungkap manfaat pati umbi garut yang sangat baik untuk kesehatan lambung. Garut Maranta arundinacea secara umum disebut arrowroot, memiliki arti tumbuhan yang mempunyai akar rimpang umbi berbentuk seperti busur tanah. Sekilas fisiknya tampak berujung lancip dan memiliki garis-garis horisontal. Tanaman ini memang kurang populer di Indonesia dibanding dengan singkong, ubi dan jenis umbi-umbian yang lain. Dilihat dari namanya, garut sepintas seolah berasal dari Garut, sebuah nama Kabupaten di Jawa Barat. Namun, faktanya tanaman ini justru ditemukan di Amerika Selatan dan Filipina. Alasan Mengapa Bergosip Baik untuk Kehidupan Sosial 10 Kebiasaan Sehari-hari yang Tanpa Disadari Dapat Merusak Ginjal Telentang, Tengkurap atau Menyamping, Cari Tahu Kepribadian Seseorang Lewat Posisi Tidurnya Salah satu produsen obat herbal tradisional asal Kemranjen, Banyumas, Fauzi Rakhmat menyebut bahwa pati umbi garut dapat melapisi lambung sehingga terlindungi dari penyebab sakit lambung terutama makanan. "Pati umbi garut mengandung serat pangan tinggi yang berfungsi meredakan nyeri lambung dan menetralkan asam lambung berlebih. Konsumsi umbi garut secara rutin dapat melapisi lambung dan mempercepat penyembuhan luka di lambung yang menjadi pemicu sakit maag," kata Fauzi pemilik brand obat herbal ternama, Maagirut saat ditemui di Banyumas, Jumat 8/10/2021. * Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang menu buka dan sahur ini ampuh hindari maag kambuh.
\n\n\n\n \n \n\n\npati garut merupakan bahan utama membuat minuman tradisional yang disebut
Adayang menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Jawaban nya adalah c dawet tau ini ga? umbi terbentuk dari pembengkakan akar tanaman yang sebenernya berfungsi bagi tanaman itu sendiri sebagai? makanan. berkembangbiak. d. hasil produksi tanaman Tepungpati garut (pati irut) adalah umbi garut yang dibersihkan dari kulit arinya dan segera direndam ke air supaya tidak teroksidasi dan berubah warna. Set
14 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sumber kekayaan hayati terbesar kedua setelah Brazil. Salah satu sumber kekayaan hayati tersebut adalah tanaman umbi-umbian. Garut Marantha arundinacea merupakan jenis umbi komoditas lokal Indonesia. Tanaman garut terdiri atas dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Umbi garut kultivar creole merupakan sumber karbohidrat, yaitu sebagian besar karbohidrat penyusunnya adalah pati. Kadar pati umbi kultivar creole sedikit lebih tinggi 20,96% dibandingkan dengan kultivar banana 19,40%. Kedua kultivar umbi garut tersebut KARAKTERISTIK SIFAT FISIKOKIMIA PATI GARUT Maranta arundinaceae ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisikokimia pati garut. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap ekstraksi pati garut dan karakterisasi pati garut. Metode ekstraksi basah menghasilkan rendemen 15,69% pati garut. Pati garut mengandung kadar pati, amilosa, amilopektin, gula pereduksi, pati resisten dan daya cerna pati masing-masing sebesar 98,10%; 24,64%, 75,36%, 4,94%, 2,12% dan 84,35%. Analisis proksimat pati garut mengandung air 11,48%, abu 0,34%, lemak 0,68% dan protein 0,24%. Profil gel permeation chromatography GPC dengan menggunakan Toyopearl HW-65S diperoleh 2 fraksi. Distribusi panjang rantai amilopektin diukur dengan fluorophore-assisted capillary electrophoresis FACE menunjukkan empat rentang derajat polimerisasi DP, yaitu DP 6-8. 9-12, 13-24 and 25-30. Scanning electron microscopy SEM mempelihatkan bahwa granula pati garut berbentuk oval. Pengujian Rapid Visco Analysis RVA menunjukkan pati garut memiliki profil gelatinisasi pati tipe A begitu pula hasil X-ray diffraction pati garut mempunyai kristalin tipe A. ABSTRACT The objective of this study was to determine the physicochemical characteristics of arrowroot starch. This research was conducted in two steps as follows arrowroot starch extraction and characterization. A wet starch extraction method yielded of arrowroot starch. The arrowroot starch contained starch of amylose amylopectin reducing sugar resistant starch and in vitro starch digestibility of Proximate composition studies showed that the moisture content in the arrowroot starch sample is ash fat 0,68% and protein 0,24%. Gel permeation chromatography GPC profile of arrowroot starch using Toyopearl HW-65S gel gave mainly two fractions. The distribution of degree of polimerization DP of amylopectin using fluorophore-assisted capillary electrophoresis FACE indicated four groups of DP, DP 6-8. 9-12, 13-24 and 25-30. Scanning electron microscopy SEM showed that they consist of oval granules. The analysis by RVA showed that arrowroot starch had an A-type starch gelatinization profile. X-ray diffraction studies showed that all the arrowroot starch exhibited A-type diffraction pattern. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201414PENDAHULUANIndonesia merupakan negara dengan sumber kekayaan hayati terbesar kedua setelah Brazil. Salah satu sumber kekayaan hayati tersebut adalah tanaman umbi-umbian. Garut Marantha arundinacea merupakan jenis umbi komoditas lokal Indonesia. Tanaman garut terdiri atas dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Umbi garut kultivar creole merupakan sumber karbohidrat, yaitu sebagian besar karbohidrat penyusunnya adalah pati. Kadar pati umbi kultivar creole sedikit lebih tinggi 20,96% dibandingkan dengan kultivar banana 19,40%. Kedua kultivar umbi garut tersebut KARAKTERISTIK SIFAT FISIKOKIMIA PATI GARUT Maranta arundinaceaePhysicochemical Characterisation of Arrowroot Starch Maranta arundinaceaeDidah Nur Faridah1, Dedi Fardiaz1, Nuri Andarwulan1, Titi Candra Sunarti21Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220 Bogor 160022Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220 Bogor 16002Email didah_nf17 ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisikokimia pati garut. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap ekstraksi pati garut dan karakterisasi pati garut. Metode ekstraksi basah menghasilkan rendemen 15,69% pati garut. Pati garut mengandung kadar pati, amilosa, amilopektin, gula pereduksi, pati resisten dan daya cerna pati masing-masing sebesar 98,10%; 24,64%, 75,36%, 4,94%, 2,12% dan 84,35%. Analisis proksimat pati garut mengandung air 11,48%, abu 0,34%, lemak 0,68% dan protein 0,24%. Profil gel permeation chromatography GPC dengan menggunakan Toyopearl HW-65S diperoleh 2 fraksi. Distribusi panjang rantai amilopektin diukur dengan fluorophore-assisted capillary electrophoresis FACE menunjukkan empat rentang derajat polimerisasi DP, yaitu DP 6-8. 9-12, 13-24 and 25-30. Scanning electron microscopy SEM mempelihatkan bahwa granula pati garut berbentuk oval. Pengujian Rapid Visco Analysis RVA menunjukkan pati garut memiliki profil gelatinisasi pati tipe A begitu pula hasil X-ray diffraction pati garut mempunyai kristalin tipe kunci Pati garut, GPC, FACE, RVA, X-ray diffraction, SEM ABSTRACTThe objective of this study was to determine the physicochemical characteristics of arrowroot starch. This research was conducted in two steps as follows arrowroot starch extraction and characterization. A wet starch extraction method yielded of arrowroot starch. The arrowroot starch contained starch of amylose amylopectin reducing sugar resistant starch and in vitro starch digestibility of Proximate composition studies showed that the moisture content in the arrowroot starch sample is ash fat 0,68% and protein 0,24%. Gel permeation chromatography GPC profile of arrowroot starch using Toyopearl HW-65S gel gave mainly two fractions. The distribution of degree of polimerization DP of amylopectin using fluorophore-assisted capillary electrophoresis FACE indicated four groups of DP, DP 6-8. 9-12, 13-24 and 25-30. Scanning electron microscopy SEM showed that they consist of oval granules. The analysis by RVA showed that arrowroot starch had an A-type starch gelatinization profile. X-ray diffraction studies showed that all the arrowroot starch exhibited A-type diffraction Arrowroot starch, GPC, FACE, RVA, X-ray diffraction, SEM AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201415memiliki kandungan protein dan lemak yang relatif rendah. Garut secara turun-temurun telah dikonsumsi oleh masyarakat di beberapa daerah di Indonesia namun pengolahannya menjadi pangan fungsional masih terbatas. Padahal dengan kadar serat pangannya yang cukup tinggi umbi ini mempunyai potensi mencegah beberapa penyakit degeneratif, termasuk penyakit jantung koroner, melalui mekanisme penurunan kolesterol dalam darah Faridah dkk. 2008. Garut merupakan sumber potensial pengganti terigu, impor terigu setiap tahunnya tidak kurang dari tiga juta ton, padahal jika kita mempunyai 335 ribu hektar lahan garut, impor terigu dapat berkurang ratusan ribu ton. Tanaman garut telah dibudidayakan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan produktivitas 2 Kg/m2 Anonim, 2008.Pati garut mudah dicerna, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau makanan bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga dapat dijadikan sebagai makanan bagi anak yang menyandang penyakit autis dan makanan diet bagi orang tua lanjut usia dan pasien yang dalam masa penyembuhan Ariesta dkk., 2004. Di samping sebagai bahan pangan, pati garut juga digunakan sebagai bahan baku non-pangan, seperti digunakan di industri kosmetik, lem, alkohol, dan tablet yang diinginkan bersifat mudah larut Kay 1973. Karakteristik sifat fisik pati diantaranya adalah ukuran dan bentuk granula pati, profil gelatinisasi pati, pola difraksi sinar X, sedangkan karakteristik sifat kimia pati diantaranya adalah analisis proksimat, kadar pati, amilosa, amilopektin, pati resisten, total pati, gula pereduksi, distribusi amilosa dan amilopektin, distribusi panjang rantai amilopektin serta daya cerna pati. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik sifat fisikokimia pati garut sebagai bahan baku untuk pengggunaan lebih lanjut baik sebagai bahan baku di industri pangan maupun PENELITIANBahan Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat pati garut adalah heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, HCl, H3BO3, merah metil dan biru metil E. Merck. Analisis karakterisasi kimia pati garut menggunakan bahan kimia sebagai berikut bufer fosfat pH 6,0 dan pH 7,0, enzim Thermamyl α-amilase Sigma A-3403, NaOH, enzim protease Sigma P-3910, enzim amiloglukosidase Sigma A-9913, enzim pepsin Sigma P-7000, enzim pankreatin Sigma P-1750, enzim α-amilase Fluca, etanol, aseton, air bebas ion, akuades, NaHCO3, HCl, heksana, asam borat, asam asetat, KI, I2, asam dinitrosalisilat DNS, pati murni E. Merck, maltosa murni, waxy maize E. Merck, H3BO3, dan Na2S2O5, NaK tartarat, fenol, glukosa, indikator fenolftalin, kuprisulfat, HClO4, Na2HPO4, Na2SO4, amonium molibdat, dan Sepharose toyopearl 65F, SephadexTM G-25, butanol, dan bufer Na-asetat pH 5,2 dan 3, yang digunakan untuk analisis pati garut alami dan yang telah dimodifikasi adalah ABI PRISM 3100 Genetic Analyzer Applied Biosystems, Foreter City, CA, USA, polimer POP, 36-cm capillary, pelapis emas E-1010 ion sputter Hitachi Science Systems, Ltd, Hitachinaka, Jepang, SEM S-4000 Scanning Electron Microscope Hitachi Science Systems, Ltd, Hitachinaka, Jepang, Gel Permeation Chromatography GPC HW 65F Toyopearl, Tosoh Coorporation Akasaka, Minatoku Jepang, pompa peristaltik Perista Pump SJ-1211, Chromatograph Atto, kolom kromatografi 2,6 cm IDx100 cm, spektro-fotometer UV-Vis UV min 1240, Shimadzu, Jepang, spectronic 20D+, difraksi sinar X Ultima IV, Rigaku, Jepang. Ekstraksi Pati GarutEkstraksi pati garut dilakukan dengan mengacu metode yang dikembangkan oleh Lingga dkk. 1989 untuk mendapatkan optimasi pembuatan pati garut. Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman selama 1 jam, ekstraksi umbi garut sebanyak 3 kali dengan nisbah patiair 13,5 b/v, pengendapan 12 jam, pengeringan, penggilingan, dan Sifat Fisikokimia Pati GarutKarakterisasi sifat kimia pati meliputi analisis proksimat yang terdiri dari kadar air, abu, lemak, protein AOAC 1998, karbohidrat by difference; amilosa, total pati Dubois dkk., 1956, gula pereduksi Takeda dkk., 1993, pati resisten GoƱi dkk., 1996, daya cerna pati in vitro Anderson dkk. 2002, distribusi amilosa dan amilopektin dan distribusi panjang rantai sifat fisik meliputi morfologi granula pati dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi dan Scanning Microscope Electron/SEM Srichuwong 2006, profil gelatinisasi pati dengan menggunakan Rapid Visco Analysis/RVA, analisis sifat kristanilitas pati garut menggunakan X-ray Diffraction Frost dkk., 2009.Prosedur AnalisisAdapun tahapan analisis dimulai dengan analisis sifat kimia pati garut yang meliputi analisis proksimat, gula pereduksi, total pati, amilosa, daya cerna pati secara in vitro, analisis distribusi amilosa rantai pendek dan amilopektin AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201416dan yang terakhir adalah analisis distribusi panjang rantai amilopektin. Tahapan selanjutnya adalah analisis sifat fisik pati garut yang meliputi morfologi granula pati, profil gelatinisasi pati dan kristanilitas pati Distribusi Amilosa Rantai Pendek dan Amilopektin dengan Gel Permiation Chromatography GPC Sunarti ddk., 2001; Ozturk dkk., 2009. Sampel bebas lemak disuspensikan dalam air dan diautoklaf pada suhu 105oC selama 1 jam, dan disentrifus 4oC, g. Supernatan dipisahkan dan dihitung kadar total karbohidrat. Supernatan 10 mg/ml diinjeksikan pada kolom gel Toyopearl GPC Toyopearl HW-65F, Toyopearl HW-65S gel, dengan ukuran kolom 2,6 cm ID x 100 cm, NaCl 50 mM sebagai eluen dan kecepatan 100 ml/jam. Sampel sebanyak 5 ml setiap fraksi ditampung dan diambil ml aliquot untuk dianalisis kadar karbohidrat totalnya dengan menggunakan metode fenol-sulfat Dubois dkk., 1956. Hasil khromatogram GPC dibagi menjadi 2 area Fraksi I/ and Fraksi II/ Kurva profil GPC adalah hubungan antara nomor fraksi dengan rasio total karbohidrat kadar total karbohidrat setiap fraksi dibagi dengan jumlah total kadar karbohidrat semua fraksi yang terelusi.Analisis Distribusi Panjang Rantai Amilopektin dengan Fluorophore-Assisted Capillary Electrophoresis FACE Srichuwong dkk., 2005. Sampel pati ditimbang 10 mg dan ditambahkan 5 ml aquades ke dalam tabung sentrifuse 15 ml konsentrasi akhir 2 mg/ml dan diautoklaf pada suhu 105oC selama 1 jam. Tahap selanjutnya divorteks dan larutan diambil 100 µl suhu dibawah 37oC ditambahkan 5 µl 50 mM buffer asetat pH 3,5 dan 5 µl larutan enzim isoamilase selanjutnya divortex dan disimpan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan tersebut dididihkan pada suhu 100oC selama 5 menit dan disentrifus rpm 5 menit. Supernatan sebanyak 50 µl dikeringkan dengan menggunakan drying evaporator dan ditambahkan 2 µl larutan NaBH3CN 1 M dan 2 µl APTS M 8-aminopyrene-1,3,6-trisulfuric acid trisodium, divorteks dan disimpan pada suhu 37oC selama 24 jam. Tahap selanjutnya adalah penambahan 1 ml aquades dan divorteks kemudian disimpan pada suhu -30oC sebelum dianalisis menggunakan Genetic dithawing, diencerkan dan kali kemudian diambil sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam 96-well dan disentrifus selanjutnya sampel yang berada dalam 96-well dimasukkan ke dalam genetic analyzer dengan polimer POP-6 dan 36 cm capillary. Elektroforesis dijalankan dengan buffer genetic analyzer pada 15kV selama 2 jam dan data dianalisis dengan menggunakan Genescan software dari Applied permukaan granula pati garut diamati di bawah Scanning Electron Microscope SEM. Serbuk pati diletakkan di atas tempat sampel dengan menggunakan isolasi double-side. Sampel kemudian dilapisi dengan emas, lalu dimasukkan ke dalam instrumen SEM. Struktur pati diamati di layar monitor dengan menggunakan skala pembesaran 500 dan 800 kali. Hasil pengamatan kemudian difoto dengan menggunakan kamera gelatinisasi pati garut alami dianalisis dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer RVA. Sebanyak 3,0 g sampel berat kering ditimbang dalam wadah RVA, lalu ditambahkan 25 g akuades. Pengukuran dengan RVA mencakup fase proses pemanasan dan pendinginan pada pengadukan konstan 160 rpm. Pada fase pemanasan, suspensi pati dipanaskan dari suhu 50oC hingga 95oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu dipertahankan pada suhu tersebut holding selama 5 menit. Setelah fase pemanasan selesai, pasta pati dilewatkan pada fase pendinginan, yaitu suhu diturunkan dari 95oC menjadi 50oC dengan kecepatan 6oC/menit, kemudian dipertahankan pada suhu tersebut selama 2 menit. Instrumen RVA memplot kurva profil gelatinisasi sebagai hubungan dari nilai viskositas cP pada sumbu y dengan perubahan suhu oC selama fase pemanasan dan pendi-nginan pada sumbu x. Perubahan daerah kristalin dan amorf pada struktur pati diamati dengan difraksi sinar X. Sejumlah kecil sampel diletakkan pada wadah sampel, kemudian dimasukkan ke dalam alat difraksi sinar X. Analisis dilakukan pada 40kV dan 40 mA dan di-scan pada 2 tetra 2-30o pada suhu kamar dengan kenaikan 0,02o. Data yang diperoleh adalah kurva hubungan antara 2 tetrao pada sumbu x dengan intensitas pada sumbu DAN PEMBAHASANEkstrak Pati GarutSebagaimana telah dijelaskan di bagian metode penelitian, pati garut diekstraksi dengan cara basah. Ekstraksi pati garut cara basah terdiri atas tahapan pembersihan, pengupasan, pencucian, perendaman, dan penghancuran umbi garut, yang dilanjutkan dengan tahap proses pemisahan pati melalui penyaringan, peng-ayakan dan pengendapan, serta pencucian. Pati garut basah yang diperoleh kemudian dikeringkan, digiling, dan diayak. Proses ekstraksi cara basah tersebut menghasilkan rendemen pati garut kering sebanyak 15,69% dengan kadar air 11,48%.Karakteristik Sifat Kimia Pati GarutKomponen proksimat dari pati garut yang dihasilkan dari metode ekstraksi basah dapat dilihat pada Tabel 1. Pati garut mengandung kadar karbohidrat by difference yang tinggi, yaitu 98,74%. Kadar protein, lemak dan abu mineral dari pati garut relatif rendah yang menunjukkan bahwa proses ekstraksi pati cara basah yang digunakan dapat menghasilkan AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201417kandungan pati yang tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku RS3. Selain itu, kadar lemak yang rendah juga diharapkan selama proses pembuatan RS3, karena lemak dapat menghambat proses pembentukan RS3. Kandungan lemak yang tinggi dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk kompleks garut yang dihasilkan dari ekstraksi cara basah ini lebih besar dibandingkan dengan kadar pati garut yang diperoleh oleh Faridah dkk. 2008, yaitu 94,89%. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan umur panen umbi garut yang digunakan. Pada penelitian ini, umbi garut yang digunakan berumur 10-11 bulan, sedangkan yang digunakan oleh Faridah dkk. 2008 berumur 4-5 bulan. Pati garut yang dihasilkan dari penelitian juga mengandung sebagian kecil gula pereduksi 4,96%.Tabel 1. Komposisi kimia pati garut alami hasil ekstraksi cara basahKomponen Kadar1ProksimatAir % 11,48Abu % 0,34Protein % 0,24Lemak % 0,68Karbohidrat by difference % 98,74Daya Cerna Pati %Pati %84,3598,10Amilosa % 24,64Amilopektin % 73,46Pati resisten % 2,12Gula pereduksi % 4,961 Konsentrasi dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basahPati garut mengandung amilosa 24,64% dan 73,46% amilopektin Tabel 1. Pati garut secara alami memiliki kadar pati resisten sebesar 2,12% Tabel 1. Pati resisten dalam pati garut alami ini termasuk jenis pati resisten tipe II RS2. Sebagai perbandingan, pati pisang memiliki kadar pati resisten 1,51% Aparicio-SaguilĆ”n dkk., 2005, sedangkan pati beras beramilosa tinggi memiliki 3,98% Pongjanta dkk., 2009.Pengukuran daya cerna pati in vitro dilakukan untuk melihat tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Daya cerna pati yang rendah menunjukkan bahwa pati sulit untuk dicerna yang kemungkinan pada pati tersebut terdapat komponen yang sulit atau tidak dapat dicerna. Komponen bahan pangan yang tidak dicerna tersebut dapat berupa pati resisten atau serat pangan. Pati resisten digolongkan ke dalam serat pangan tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis sama dengan serat larut Ranhotra dkk., 1991 dan Haralampu 2000. Hasil analisis daya cerna pati garut 84,35% cukup tinggi sehingga dapat digolongkan kedalam pati yang mudah distribusi amilosa dan amilopektin dari pati garut dianalisis dengan menggunakan GPC dan dinyatakan sebagai nisbah total karbohidrat. Kromatogram GPC pada seluruh pati garut, memiliki dua fraksi, yaitu fraksi I Fr-I dan fraksi II Fr-II Gambar 1. Hasil penelitian terdahulu juga memperlihatkan dua fraksi pada kromatogram GPC, yaitu pada pati beras Mujoo dan Ali 1999, pati gandum, kentang dan tapioka Singh dan Ali 2000, dan pati jagung tinggi amilosa Ozturk dkk., 2009. Fraksi I merupakan fraksi amilopektin dengan bobot molekul besar, sedangkan fraksi II Fr-II merupakan fraksi amilosa dan gula-gula sederhana dengan bobot molekul kecil. Fraksi I terdapat pada fraksi nomor 1 sampai 30, sedangkan fraksi II terdapat pada fraksi nomor 31 sampai 1. Profil GPC pati garut pada Sheparose Toyopreal HW-65FAnalisis GPC menunjukkan persentase fraksi amilosa Fr-II pada pati garut alami sebesar 29,20%, sedangkan fraksi amilopektin Fr-I sebesar 70,80%. Fraksi amilosa ini lebih tinggi dibandingkan kadar amilosa dari hasil analisis spektroskopi 24,64%. Hal ini disebabkan Fr-II dari analisis GPC juga mengukur fraksi gula-gula sederhana dengan bobot molekul rendah, terutama yang terdapat pada fraksi nomor 48. Demikian juga hasil penelitian pada pati jagung tinggi amilosa yang dilakukan oleh Ozturk dkk. 2009, bobot molekul rendah <30kDa ditemukan pada fraksi rantai amilopektin dengan derajat polimerisasi DP 6-30 dapat diketahui dengan menggunakan FACE. Amilopektin pada pati garut dihidrolisis secara sempurna AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201418dengan menggunakan enzim isoamilase sehingga semua titik percabangan α-1,6 terputus dan menghasilkan rantai glukan dengan ujung pereduksi. Semakin banyak yang terhidrolisis maka semakin tinggi kadar gula pereduksinya. Ujung pereduksi kemudian diderivatisasi dengan APTS 8-amino-pyrene-1,3,6-trisulfuric acid trisodium sehingga pati dapat dianalisis dengan menggunakan FACE. Ujung pereduksi rantai glukan dapat diperoleh dari hasil hidrolisis amilopektin. Profil distribusi DP baik pada pati garut dapat dilihat pada Gambar 2. Puncak distribusi DP banyak terdapat pada DP 11-13. Persen distribusi amilopektin pada pati garut adalah sebagai berikut DP 6-8 5,98%, DP 9-12 31,77%, DP 13-24 56,04% dan DP 25-30 6,21%. sedangkan pati garut hasil penelitian Srichuwong 2006 menunjukkan adanya sedikit perbedaan dalam persentasi masing-masing rentang DP tersebut yaitu untuk DP 6-8 4,00%, DP 9-12 27,70%, DP 13-24 58,40% dan DP 25-30 9,90%. Berdasarkan distribusi DP tersebut, dapat dilihat bahwa pati garut dapat digolongkan ke dalam jenis kritalinitas tipe A. Hal ini disebabkan DP pendek DP 9-12 lebih banyak bila dibandingkan dengan tipe B dan C 18,90-24,9%. Panjang rantai amilopektin yang menentukan kristalinitas pati karena kemampuannya untuk membentuk struktur double helix Hizukuri dkk. 1983.Gambar 3. Struktur granula pati garut alami di bawah mikroskop polarisasi pembesaran 200xGambar 3 memperlihatkan bahwa granula pati garut masih terlihat utuh dengan bentuknya yang oval yang menunjukkan bahwa granula pati garut belum mengalami kerusakan struktur granulanya. Pengamatan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy SEM Gambar 4a dan 4b juga menunjukkan struktur granula pati garut dengan permukaan yang masih halus dan utuh, begitu Gambar 2. Distribusi panjang rantai amilopektin hasil pengukuran dengan FACEKarakteristik Sifat Fisik Pati GarutPengamatan di bawah mikroskop polarisasi Gambar 3 menunjukkan bentuk granula pati garut dengan penampakan birefrigence-nya. Adanya penampakan birefringence ini menunjukkan bahwa pati garut hasil ekstraksi belum mengalami gelatinisasi. Sebagaimana dilaporkan oleh peneliti terdahulu Tester dan Karkalas 2002, bentuk granula pati garut berbentuk oval dengan ukuran rata-rata granula sebesar 50-60,0 4. Struktur granula pati garut di bawah Scanning Electron Microscope SEM. a pembesaran 500x; b pembesaran 800x AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201419pula hasil penelitian Srichuwong dkk. 2005. Granula pati yang belum mengalami proses modifikasi akan memiliki permukaan yang halus dan 5 memperlihatkan profil gelatinisasi pati garut yang diukur dengan menggunakan RVA. Data yang diperoleh dari pengukuran RVA adalah suhu awal gelatinisasi SAG, viskositas puncak atau maximum viscosity MV, viskositas pada 95oC atau hot paste viscosity HPV, viskositas breakdown VB, viskositas setelah mencapai suhu 50oC, viskositas akhir setelah dipertahankan di 50oC atau cold paste viscosity CPV, viskositas setback atau setback viscosity SV, dan stabilitas pengadukan pada 50oC. SAG oC adalah suhu pada saat nilai viskositas mulai terbaca yang menandakan pati mulai mengalami gelatinisasi. MV diukur saat pasta pati mencapai viskositas maksimum selama fase pemanasan. VB menunjukkan kestabilan viskositas terhadap pemanasan yang dihitung dari selisih antara PV dengan HPV. SV menunjukkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi yang dihitung sebagai selisih antara CPV dengan HPV. Tipe profil gelatini-sasi pati selanjutnya ditentukan berdasarkan pengelompokan oleh Schoch dan Maywald 1968.Sebagaimana pati alami umumnya, pati garut memiliki profil gelatinisasi dengan puncak viskositas maximum viscosity yang cukup tinggi dan diikuti dengan penurunan viskositas breakdown viscosity yang cukup tajam selama fase pemanasan. Hal ini menunjukkan granula pati garut kurang tahan atau kurang stabil oleh proses pemanasan. Pada fase pendinginan, viskositas pasta pati kembali berangsur meningkat yang disebabkan oleh terjadinya penggabungan kembali re-association molekul-molekul amilosa dan amilopektin melalui ikatan hidrogen. Peningkatan viskositas selama fase pendinginan juga menunjukkan kecenderungan retrogradasi dari pasta pati garut. Kandungan amilosa yang cukup tinggi memiliki kontribusi yang besar terhadap kecenderungan terjadinya retrogradasi pasta pati selama fase pendinginan Gudmundsson 1994; Lehmann dkk., 2003; Shu dkk., 2007. Profil gelatinisasi pati garut sebagaimana diuraikan di atas sama dengan yang dilaporkan oleh Srichuwong 2006.Menurut Chen 2003, pengukuran kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan pengukuran freeze-thaw stability dan pengukuran nisbah viskositas setback pasta. Sineresis yang terjadi pada saat dilakukan siklus freeze-thaw berulang menunjukkan adanya peningkatan ikatan hidrogen intermolekuler antara amilosa dengan amilosa, amilosa dengan amilopektin, serta amilopektin dengan amilopektin. Sementara itu, viskositas setback pasta menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang terjadi pada molekul amilosa karena amilosa lebih mudah terpapar oleh air dan mudah mengalami rekristalisasi dibandingkan 2 memperlihatkan data-data profil gelatinisasi pati garut yang diolah dari kurva RVA pada Gambar 5. Pati garut mulai mengalami gelatinisasi pada suhu yang cukup tinggi, yaitu 76,3oC. Suhu awal gelatinisasi pati masih berada dalam rentang suhu yang dilaporkan oleh Perez dan Lares 2005, yaitu 67,75-81,40oC. Viskositas puncak tercapai pada suhu 85,1oC dengan nilai viskositasnya sebesar 2715 cP. Viskositas puncak pati garut hampir sama dengan pati ganyong, lesser yam dan water yam Srichuwong 2006. Pada pemanasan di atas suhu 85oC, pati garut mengalami penurunan viskositas yang cukup tajam dengan viskositas breakdown sebesar 1434 cP. Pasta pati garut secara berangsur-angsur mengalami peningkatan viskositas selama fase pendinginan. Viskositas setback selama fase pendinginan ini sebesar 806 cP. Viskositas setback pati garut ini relatif tinggi, yang menunjukkan kecenderungan pati garut untuk lebih mudah mengalami retrogradasi. Kecenderungan retrogradasi dari pati garut ini diharapkan, karena akan lebih memudahkan dalam pembentukan 2. Profil gelatinisasi pati garut dari hasil pengukuran Rapid Visco Analyzer RVAParameter NilaiSuhu awal gelatinisasi oC 76,3Viskositas maksimum cP 2715Viskositas pada 95oC cP 2246Viskositas setelah holding pada 95oC cP 1311Viskositas breakdown cP 1434Viskositas pada 50oC cP 1932Stabilitas pemanasan pada 95oC cP 935Viskositas setelah holding pada 50oC cP 2087Viskositas setback cP 806Berdasarkan kurva RVA pada Gambar 5, maka pati garut memiliki profil gelatinisasi pati tipe A berdasarkan Gambar 5. Profil gelatinisasi pati garut alami yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer RVA AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201420pengelompokkan oleh Schoch dan Maywald 1968. Profil gelatinisasi pati tipe A ini ditandai dengan nilai viskositas puncak yang cukup tinggi dan viskositas breakdown yang cukup tajam. Dengan demikian, profil gelatinisasi pati garut satu kelompok dengan pati tapioka, kentang, ubi jalar, sagu, waxy corn dan waxy barley Collado dkk., 2001; Wattanachant dkk., 2002; Singh dkk., 2005.Tipe kristalin pati garut dari hasil pengukuran difraksi sinar X dapat dilihat pada Gambar 6. Srichuwong dkk. 2005a menyatakan bahwa pati garut alami memiliki kristalin tipe A. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh dalam penelitian ini yang juga menunjukkan kristalin tipe A. Kristalin tipe A ditandai dengan puncak pada 2 tetra yaitu 15o, 17o, 20o dan 23o. Pati garut memiliki derajat kristalinitas sebesar 20,01% lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Srichuwong dkk. 2005 sebesar 31,5%.puncak yang cukup tinggi dan viskositas breakdown yang cukup tajam. Pola difraksi sinar X menunjukkan kristalin pati garut tergolong tipe A yang dicirikan dengan puncak pada 2 tetra yaitu 15o, 17o, 20o dan TERIMA KASIHUcapan terima kasih kepada DIKTI melalui program Hibah Bersaing, Sandwich-like dan Indofood Riset Nugraha 2008 yang telah membiayai penelitian ini juga kepada Prof. Makoto Hisamatsu dan Dr. Naoto Isono yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian di Food Chemistry Laboratory, Department of Sustainable Resource Science, Faculty of Bioresources, Mie University, Tsu-shi PUSTAKAAnonim 2008. Garut Marantha arundinacea. [16 Mei 2008].AOAC 1998. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington Guraya, James, C. dan Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting temperature tm. Starch/StƤrke 54 Flores-Huicochea, E., Tovar, J., GarcĆ­a-SuĆ”rez, F., GutiĆ©rrez-Meraz, F. dan Bello-PĆ©rez, 2005. Resistant starch-rich powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch partial characterization. Starch/Starke 57 E., Setyono, N., Ardiati, Rahmat, S. dan Sofyan 2004. Umbi-umbian yang Berjasa dan Terlupa. Simpul Pangan Yogja. Yayasan Kehati. Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Thesis. The Netherland Wageningen Mabesa, Oates, dan Corke, H. 2001. Bihon-type of noodles from heat-moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science 664 M., Gilles, Hamilton, Rebers, dan Smith, F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substance. Analytical Chemistry 28 Prangdimurti, E. dan Adawiyah, 2008. Pangan Fungsional dari Umbi Suweg dan Garut Kajian Daya Hipokolesterolemik dan Indeks Glikemiknya. Gambar 6. Difraktogram pati garut hasil pengukuran X-ray DiffractionPola difraksi sinar X menunjukkan kristalin pati garut tergolong tipe A dengan karakteristik amilopektin pati garut memiliki derajat polimerisasi DP 9-30 yang cukup tinggi, densitasnya lebih padat pada daerah struktur heliks menunjukkan semakin banyak double helix yang terbentuk Wang dkk., 1998; Srichuwong dkk., 2005, proporsi rantai cabang berukuran pendek pada amilopektin lebih tinggi Hizukuri dkk., 1983 dan jumlah rantai per klaster lebih banyak 10-23 per klaster dibandingkan dengan kristalinitas tipe B 6-7 per klaster Takeda dan Hanashiro 2003.KESIMPULAN Pati garut mengadung kadar karbohidrat dan pati cukup tinggi rasio amilosa amilopektin sekitar 13, kadar lemak dan protein yang rendah serta memiliki sifat mudah dicerna yang ditunjukkan dengan tinggi nilai daya cernanya. Berdasarkan distribusi amilosa dan amilopektin, pati garut memiliki 2 fraksi sedangkan puncak distribusi DP banyak terdapat pada DP 11-13. Granula pati berbentuk oval dan memiliki profil gelatinisasi tipe A yaitu ditandai dengan nilai viskositas AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 201421Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, K., Kaminski, D., Kirwan, G., Lascaris, E. dan Shanks, R. 2009. Crystallinity and structure of starch using wide angle X-ray scattering. Carbohydrate Polymers 78 L., GarcĆ­a-Diaz, L., MaƱas, E. dan Saura-Calixto, F. 1996. Analysis of resistant starch a method for foodand food products. Elsevier Science Ltd. 564 M. 1994. Retrogradation of starch and the role of its components. Thermochimica Acta 246 2000. Resistant starch-a review of the physical properties and biological impact of RS3. Carbohydrate Polymer 41 S., Kaneko, T. dan Takeda, Y. 1983. Measurement of the chain length of amy-lopectin and its relevance to the origin of crystalline polymorphism of starch granules. Biochimica et Biophysicia Acta 760 1973. Root Crops Tropical Product. Institute London Foreign and Commonwealth U., Rossler, C., Schmiedl, D. dan Jacobash, G. 2003. Production and physico-chemical characterization of resistant starch type 3 derived from pea. Starch/Nahrung/Food 43 Sarwono, F., Rahadi, Raharja, Afistini, Rini W. dan Apriadi, 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, R. dan Ali, 1999. Molecular degradation of rice starch during processing to flakes. Journal of the Science of Food and Agriculture 79 S., Koksel, H. dan Kahraman, K. 2009. Effect of debranching and heat treat-ments on formation and functional properties of resistant starch from high-amylose corn starch. European Food Research Technology 229 E. dan Lares, M. 2005. Chemical composition, mineral profile, and functional properties of canna Canna edulis and arrowroot Maranta spp. starches. Plant Foods for Human Nutrition 60 J., Utaipattanaceep, O., Naivikul dan Piyachom-kwan, K. 2009. Effect of preheated treatments on physicochemical properties of resistant starch type III from pullulanase hydrolysis of high amylose rice starch. American Journal of Food Technology 42 Gelroth, Astroth, K. dan Eisenbraun, 1991. Effect of resistant starch on intestinal responses in rats. Cereal Chemistry 682 dan Maywald, E. 1968. Preparation and properties of various legume starches. Cereal Chemistry 45 X., Jia, L., Gao, J., Sing, Y., Zhao, H., Nakamura, Y. dan Wu, D. 2007. The influence of chain length of amilopectin on resistant starch in rice Oryza sativa L. Starch/Starke 59 V. dan Ali, 2000. Acid degradation of starch. The effect of acid and starch type. Carbohydrate Polymers 41 N., Raina, Bawa, Saxena, 2005. Effect of heat moisture treatment and acid modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of sweetpotato starch. Journal of Food Science 706 S., Sunarti, Mishima, T., Isono, N. dan Hisamatsu, M. 2005. Starches from different botanical sources I contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. Carbohydrate Polymers 604 S. 2006. Starches from Different Plant Origins from Structure to Physicochemical Properties. Disertasi. Mie University. Nunome, N., Yashio dan Hisamatsu, M. 2001. Study on outer chains from amylopectin between immobilized and free debranching enzymes. Journal Applied Glycoscience 481 1-10. Takeda, Y. dan Hanashiro, M. 2003. Examination of the structure of amylase and amylopectin by fluorescent labeling terminal. Journal of Applied Glycoscience 48 dan Karkalas, J. 2002. Starch. Dalam Steinbuchel, A., Vandamme, De Baets, S., dan Steinbuchel, A. Editor. Biopolymers, Volume 6. Polysaccharides II. Polysaccharides from Eukaryotes, hal 381-438. Weinheim Bogracheva, dan Hedley, 1998. Starch as simple as A, B, C? Journal of Experimental Botany 49 S., Muhammad, Hasyim, dan Rahman, 2002. Characterization of hydroxypropylated crosslinked sago starch as compared to commercial modified starches. Songklanakarin Journal Science and Technology 243 439-450. ... The moisture content was lower compared to PĆ©rez and Lares 2005 who obtained and respectively. However, it is slightly higher than the results of Faridah et al. 2014. Several factors that influence the difference in moisture content include the location of growth. ...... Differences in growing location, type of tuber, and post-harvest handling are thought to affect the starch carbohydrate content of each location studied. The content is affected by the harvest time Faridah et al., 2014. In the manufacturing process, the tubers are crushed and sliced to obtain slurry starch. ...... The values obtained from this study were higher compared to results from Nigeria Ashogbon and Akintayo, 2014, Malawi consisting of 7 accessions of cocoyam ranging from -21% Mweta et al., 2010, and Venezuela PĆ©rez and Lares, 2005. When compared with the results of several tuber varieties in Indonesia, the amylose content of local cocoyam from Moluccas is higher than arrowroot Faridah et al., 2014, Edible canna Canna Suweg Phallus campanalatus Coconut sweet potato Dioscorea alata and Asiatic yam Dioscorea esculenta Richana et al., 2004. Furthermore, Santacruz 2004, reported that normal starch has an amylose content of 25%. ... MarsenoY. Marsono Yudi PranotoTubers are a potential source of carbohydrates due to their high starch composition with various benefits in the food and non-food industry. Meanwhile, cocoyam Xanthosoma sagitofollium is one of the tubers with high starch potential. Therefore, this study aimed to characterize the chemical properties, total starch, amylose, and resistant starch of local cocoyam from several locations in the Moluccas. These locations include Buru Island, Saparua Island and Saumlaki Island, the three locations are separated by the ocean. The starch was extracted using the wet method while the chemical analysis was carried out on the moisture, ash, fat, protein, phosphorus, and carbohydrate contents, as well as total starch, amylose, and resistant starch. Data were analyzed by means of variance ANOVA at = The significant difference that occurred was continued with Duncan's test α = The results showed that the three starches were significantly different from one another, which implies that the growing location affected the chemical components, as well as the total starch, and amylose while the resistant starch was not significantly different. Based on the results, the growing locations affect the chemical contents but not the resistant starch.... Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah jenis umbi-umbian yang mengandung pati, disisi lain pati merupakan salah satu sumber terbarukan yang ketersediaannya melimpah, penanganannya cukup mudah dan tidak mahal salah satunya pati garut. Pada penelitian ini menggunakan pati garut, menurut Faridah et al., 2014 menyatakan bahwa umbi garut mengandung kadar pati sebesar 98,74% sehingga berpotensi sebagai bahan dasar dalam pembuatan edible film. Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang memiliki kemampuan mengental dua kali lebih tinggi dibandingkan pati lain sehingga dapat membuat produk yang dihasilkan transparan. ...Meditya Dwi RizkyatiSri WinartiEdible film is one of the biodegradable packaging that can be degraded naturally and is generally used to wrap food and is fit for consumption. Edible films are generally made from various types of starch, one of which is arrowroot starch and additional ingredients such as white turmeric filtrate which has antimicrobial activity to protect the packaged product from pathogenic bacteria and can extend the shelf life of the packaged product. White turmeric filtrate contains phenolic compounds and terpenoids as antimicrobial compounds. The purpose of this study was to determine the effect of arrowroot starch concentration and white turmeric filtrate on the characteristics and organoleptic properties of edible films. This study used a completely randomized design CRD factorial pattern with two factors. Factor I arrowroot starch concentration 2%;4%;6%. and Factor II white turmeric filtrate concentration 1%;4%;7%. The results of data analysis using 5% ANOVA and 5% DMRT follow-up test. The data obtained from the analysis showed that the best treatment was edible film from arrowroot starch 4% w/v and white turmeric filtrate 7% v/v having edible film characteristics with a water content of thickness mm; tensile strength Mpa; elongation water vapor transmission rate g/ inhibition against bacteria by mm; inhibition against S. aureus bacteria mm; texture 4 slightly broken; color yellow; and aroma scented with strong turmeric.... Breakdown shows viscosity stability against the heating process Faridah Fardiaz D, Andarwulan N, 2014. The highest breakdown value is the pH 3 MOCAF sample, it shows that under acidic conditions the viscosity stability is not good when compared to the pH 7 MOCAF sample which has the lowest breakdown value. ...Starch is a glucose polysaccharide which includes amylose and amylopectin. Natural starch in its utilization has several weaknesses so that modified starch begins to develop, one of which is MOCAF. MOCAF is a modified cassava flour by fermentation using lactic acid bacteria BAL. The weakness of natural starch is become thicky when the food processing at high temperature and acidic conditions. MOCAF is expected to be able to provide solutions for food processing at high temperatures and acidic conditions. This research was conducted to determine the gelatinization profile of MOCAF during processing at several pH levels. Physical properties of the MOCAF firstly were analyzed including water, starch, amylose, and amylopectin content. After that, the MOCAF gelatinization profile was measured using a Rapid Visco Analyzer RVA, with observation parameters namely peak viscosity PV, minimum viscosity MV, breakdown BD, final viscosity FV, setback SB, pasting temperature PT, and peak time Ptime. The results showed that the acidic conditions affected the gelatinization profile of the starch. In the sample which was mixed with citrate buffer solution pH 3 showed the highest peak viscosity cP and breakdown cP, while the lowest minimum viscosity cP, final viscosity cP, setback cP, pasting temperature and peak time minutes. Thus, the low-pH processed MOCAF has the lowest viscosity stability and retrogradability.... Umbi garut memiliki indeks glikemik yang rendah dibandingkan yang lainnya. Umbi garut mempunyai komponen pati 98,10%, lemak 0,68%, protein 0,24%, dan air 11,48% Faridah et al., 2014. Komponen tersebut dapat dijadikan sumber nutrisi bagi pertumbuhan bakteri Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum. ...... . SementaraFaridah et al. 2014 menjelaskan bahwa viskositas setback pasta menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang terjadi pada molekul amilosa karena amilosa lebih mudah terpapar oleh air dan mudah mengalami rekristalisasi dibandingkan Waktu Puncak GelatinisasiMenurut Syafutri 2015 peak time atau waktu puncak gelatinisasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai viskositas puncak atau terjadinya puncak gelatinisasi. ... Putra SantosoTahukah anda bahwa serat pangan bukan sekedar pencegah konstipasi ataupun pembersih saluran cerna semata? Serat ternyata memiliki efek fisiologis dalam spektrum yang sangat luas jika ditinjau dari sistem-sistem tubuh yang dapat dipengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Serat terbukti dapat mencegah perkembangan kanker, diabetes mellitus, obesitas, inflamasi, dan penyakit liver dan ginjal. Buku ini memaparkan hasil-hasil penelitian penulis terkait efek positif dari mengonsumsi serat pangan yang berasal dari tanaman umbi-umbian dan rimpang khususnya dalam mencegah perkembangan berbagai penyakit akibat diet berlemak tinggi. Bagian-bagian awal buku ini mengemukakan fakta perihal komposisi nutrisi dan senyawa bioaktif yang penting dalam ekstrak serat umbi dan rimpang. Pada bagian-bagian selanjutnya dideskripsikan secara jelas bukti-bukti empiris terkait potensi serat dalam mengintervensi jalur pensinyalan inflamasi, melindungi struktur dan fungsi saluran pencernaan, memodulasi diversitas dan komposisi komunitas mikrobiota saluran cerna serta mencegah perkembangan diabetes mellitus tipe 2, disregulasi lemak tubuh, dan efek serat terhadap nilai darah. Diskusi-diskusi dalam buku ini akan memberikan pemahaman kepada kita perihal aksi kerja serat dan turunannya produk fermentasi serat di saluran cerna dalam menyokong kesetimbangan fungsi tubuh yang stabil dan sehat. Membacanya akan menambah kesadaran kita untuk lebih banyak mengonsumsi LailaPengaruh tepung beras dan maizena pada pembuatan kacang disko telah dikaji melalui variasikomposisi penyalut terigu maizena tepung beras, yaitu A 50 persen 37,5 persen 12,5 persen, B50 persen 25 persen 25 persen, dan C 50 persen 12,5 persen 37,5 persen. Selanjutnya, dilakukankarakterisasi kimia, sensoris, dan fisik terhadap kacang disko. Dilakukan juga uji water absorption capacityWAC, oil absorption capacity OAC, serta sifat pasting tepung penyalut. Penelitian menunjukkanbahwa seluruh formula menghasilkan tingkat kesukaan sensoris yang sama. Dari sisi tekstur, formula Amenghasilkan crispness terbesar dan F break terkecil. Sementara, kedua parameter tersebut sama untukformula B dan C. Formula A memiliki fracture yang lebih kecil dari formula C, walaupun tidak berbeda nyatadengan formula B. Kadar abu, protein, dan lemak tertinggi dihasilkan oleh formula C. Formula B memilikikadar protein yang lebih tinggi dari formula A. Namun, formula A memberikan kecerahan dan warna kuningyang lebih tinggi. Formula A memberikan OAC yang paling rendah, walaupun WAC-nya sama denganformula lain. Berdasarkan analisis pasting, formula A memiliki viskositas puncak, viskositas breakdown, danviskositas setback terkecil. Formula B menjadi formula terpilih karena karakter sensoris dan fisiknya yangsama dengan formula A, namun kandungan zat gizinya lebih tinggi dari formula Sanggrami Sasmitaloka Winda HalizaErmi SukasihSri WidowatiKegiatan penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh derajat sosoh dan jumlah pencucian terhadap karakteristik nasi instan biofortifikasi. Bahan baku yang digunakan adalah beras varietas Inpari IR Nutri Zinc. Proses produksi nasi instan terdiri dari beberapa tahapan yaitu perendaman dalam larutan Na-Sitrat, pencucian, pemasakan, pendinginan, pembekuan, thawing, pengeringan, dan pengemasan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL dengan perlakuan frekuensi pencucian x1 2, x2 3, dan x3 4 kali dan derajat sosoh y1 90, y2 95 dan y3 100. Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat sosoh dan jumlah pencucian pada beras berpengaruh terhadap karakteristik nasi instan biofortifikasi p < Perlakuan terbaik untuk memproduksi nasi instan biofortifikasi yaitu beras dengan derajat sosoh 95 dan pencucian 2 kali. Nasi instan biofortifikasi yang dihasilkan memiliki waktu rehidrasi sebesar 4,21 menit, kadar Zn sebesar 22,11 ppm, kadar Fe sebesar 17,3 ppm, daya cerna pati sebesar 5,99%, dan kadar serat pangan total sebesar 6,86% sehingga cocok dikonsumsi terutama untuk mencegah stunting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produk nasi instan biofortifikasi dapat dijadikan sebagai alternatif makanan pokok siap saji dan layak dikonsumsi oleh masyarakat, terutama untuk mencegah limited use of cassava for industrial purposes encourages the development of various derivative products from cassava including cassava flour. However, cassava flour has unfavorable characteristics when used directly as raw material for food products so it must be modified. The aims of this study were to modify cassava flour, and to identify characteristic from several modified cassava flour. The cassava variety used was cimanggu. This study used completely randomized design CRD with three treatments of modification, each in triplicate. The modification methods used were spontaneous fermentation of cassava flour suspension for 36 hours TSFS, fermentation of sliced cassava for 48 hours TG, and heat moisture treatment of cassava flour at moisture content of 20% with temperature of 121oC for 15 minutes TS HMT. The modified cassava flour was dried, then analyzed for amylose content, whiteness index, and pasting properties. The results showed that TSFS modification increased amylose content and pasting temperature, but it decreased the breakdown viscosity. TG modification increased the amylose content, whiteness index, viscosity peak, final, setback, and pasting temperature, but it decreased breakdown viscosity. TS HMT modification increased pasting temperature, but it decreased viscosity peak, breakdown, final, setback and whiteness TakedaIsao HanashiroThe fluorescent labeling/HPSEC method was developed and the molar-based distribution of amylopectin unit-chains, and molecules of amylose and amylopectin from various sources was examined. The molar-based distribution of A and B chains enabled the estimation of the number of chains per cluster. Cereal amylopectins had a larger number of chains in a cluster than root and tuber amylopectins. A-Crystalline type starches contained amylopectin with a larger number of chains per cluster than B-type crystalline. The molar distribution of C chain suggested the presence of long and short C-chains, which appeared to connect two clusters and were in single cluster, respectively. Amylopectin comprised three molecular species. The large species was major in amount by mole and weight, but the medium and small species were relatively large in amount by mole but very small by weight. The three species appeared to be built up with a similar cluster in structure and differed in the number of clusters. The number of clusters suggested that the large and medium species might be blocklets in granule while the small species immature and/or degraded products of the large species. Amylose comprised several molecular species with different size, and their proportions differed by plant sources. The small amylose species was predominant in cereal amyloses while the large amylose species in root and tuber amyloses. The number-average degree of polymerization of amyloses and the number average chain length of amylopectins determined by the labeling/HPSEC method were in good agreement with those determined by conventional colorimetric methods. Titi Candra SunartiTomohiro NunomeNobuko YoshioMakoto HisamatsuVarious kinds of partial hydrolysates of waxy maize amylopectin were prepared by controlling the debranching actions of immobilized and free isoamylase, and free pullulanase, and then frac tionated into three fractions by a gel chromatography using Toyopearl HW-65F . The smallest frac tions fr. 3 were again debranched with free isoamylase and analyzed by HPAEC-PAD in order to obtain information of chain distributions existing in the outer portion of amylopectin molecules. About 10-15% of the partial hydrolyses were appropriate to collect the shortish chains released from amylopectin. The chain distribution of the smallest fraction consisted of many short-chains with DP 6-15, and it could be thought that most of the shortish chains might be A chains derived from outer portions of amylopectin. The comparative experiments among the debranching enzymes led us to confirm that partial hydrolyzed materials obtained by the low enzyme activity of free isoamylase and pullulanase could be used to study the outer chains of amylopectins like immobilized L WangT. Ya. BograchevaC. L. HedleyStarch is the main carbohydrate reserve in plants and an important part of our nutrition. Increasingly, it is being seen by industry as a useful raw material to include in foodstuffs and with which to produce other carbon-based polymers. Our understanding of starch biosynthesis and chemistry has advanced rapidly over the last few years, but our knowledge of how this translates into structure and thence into physicochemical properties and function is still lacking. Here, we have reviewed this information with an emphasis on genetics and physical properties, especially using data from the model crop, pea Pisum sativum L..Xiaoli ShuLimeng JiaJunkai GaoDianxing WuAmylopectin is the principle component of starch. To elucidate the relationships between amylopectin and resistant starch content, six rice mutants with altered fine structure of amylopectin were selected for comparative studies with the primary wild type and two types of amylose-extender ae mutants. Significant differences in resistant starch content were observed among mutants with similarity or differences in amylose levels. Mutants high in resistant starch had significantly increased proportions of short amylopectin chains with DP≤12, decreased levels of intermediate chains with size of 13≤DP≤36, and decreased fractions of long chains with DP≄37. Additionally, there was a mutant different to ae, which was characterized by an increased level of short chains with 8≤DP≤12 and 13≤DP≤24, and a decreased proportion of long chains with DP≄37. The increased contents of short chains with 8≤DP≤12 and decreased of intermediate and long chains with 24≤DP were clearly associated with the increase of resistant starch in and waxy rice starches adjusted to 20% moisture wet based, were heated in a differential scanning calorimeter to determine the optimum parameters for producing slowly digestible starch SDS. Starches heated to the temperature of melting Tm and held for 60 min in the calorimeter showed a slow digestibility compared to unheated samples. Digestibility decreased by 25 and 10%, respectively, for non-waxy and waxy rice starches relative to non-treated starches. Heat-moisture treatment of waxy corn, non-waxy corn and wheat starches at the Tm determined for non-waxy rice starch did not result in significant decreases in digestibility. For waxy rice starches heat-treated in microwave or conventional ovens at the Tm , there were slight but significant increases in digestibility of the treated starches compared to non-treated starches at all incubation times. Digestibility was higher for starches heated for 30 min than for 60 min. Non-waxy rice starches did not show any significant changes in digestibility. Heat-moisture treatment at the Tm and the holding time of sample at that temperature in a differential scanning calorimeter were found to be significant to the formation of slowly digestible heat-moisture treated MujooSyed Zakiuddin AliRoasting of the soaked paddy roasting-parboiling appeared to cause an increase in the proportion of the high-molecular-weight component of starch, separated in Fraction-I, probably due to retrogradation. The solubility of starch also decreased. Flaking of roasted-parboiled paddy in the traditional edge-runner flaker did not cause any further appreciable change in the proportion of Fraction-I and Fraction-II. Flaking in the roller-flaker unit, on the other hand, caused a decrease in the proportion of Fraction-I, indicating molecular breakdown of starch. The total starch solubility increased marginally in edge-runner flakes but substantially in roller-flaker flakes. Fractionation of starch that was soluble in hot water showed that the major amount of amylose equivalent resided in this portion as revealed by a higher proportion of Fraction-II and a high Ī»max of the peak of this fraction. When retrogradation was induced in the flakes under appropriate conditions of moisture and temperature, the content of the high-molecular-weight Fraction-I of total starch increased slightly in edge-runner flakes but markedly in roller-flaker flakes, indicating an aggregation or reassociation of starch molecules or its fractions. Ā© 1999 Society of Chemical Industry
BakmiSalatiga. Makanan khas daerah Salatiga yang juga terkenal enak adalah bakmi Salatiga. Bakmi Salatiga merupakan makanan favorit dan memiliki rasa yang enak dan khas. Bakmi Salatiga disajikan dengan bahan utama mie yang dipadu dengan potongan daging ayam, telur bebek, irisan kol, tomat dan daun bawang sebagai toppingnya. Sepertinya Anda menggunakan alat otomatisasi untuk menelusuri situs web kami. Mohon verifikasi bahwa Anda bukan robot Referensi ID 4be53125-0c0d-11ee-9141-756e56736464 Ini mungkin terjadi karena hal berikut Javascript dinonaktifkan atau diblokir oleh ekstensi misalnya pemblokir iklan Browser Anda tidak mendukung cookie Pastikan Javascript dan cookie diaktifkan di browser Anda dan Anda tidak memblokirnya. . 245 487 21 395 12 123 230 114

pati garut merupakan bahan utama membuat minuman tradisional yang disebut